Thursday, August 24, 2006

LSI: Masyarakat Tolak Hukum Syariah, Lebih Memilih Hukum Nasional

JAKARTA—INVESTIGASINEWS Online (INO)-- Mayoritas masyarakat Indonesia lebih memilih penerapan hukum nasional ketimbang aturan hukum yang mengacu pada suatu ajaran agama tertentu. Sebagai contoh, mayoritas masyarakat Islam sendiri lebih memilih penerapan hukum nasional ketimbang aturan hukum lain, seperti Peraturan Daerah (Perda) bernuansa Syariat Islam," ujar Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA kepada wartawan dalam paparan 'Respon Publik Atas Perda Bernuansa Syariat Islam' di Jakarta, Kamis (24/8).
Pada survei yang dilakukan di 33 provinsi pada 28 Juli-3 Agustus 2006 itu, LSI mencatat 66,7% responden lebih mengidealkan Pancasila ketimbang sistem ideologi ketatanegaraan lain (Demokrasi Barat atau Negara Islam Timur Tengah). Pasalnya, Pancasila terbukti berhasil menjadi ideologi di tengah keberagaman yang ada, baik dari sisi adat, agama, suku, dan sebagainya.
Dalam paparannya, dari 700 orang sebagai sampel survei, 64,3% responden menyatakan hukum nasional sebaiknya tetap diterapkan di Indonesia karena menjamin adanya keberagaman. Hal ini diperkuat oleh temuan di mana responden yang beragama Islam sendiri (61,7%) lebih memilih hukum nasional.
Mayoritas muslim Indonesia sejak lama memang lebih berorientasi pada keberagaman dan kebangsaan. Dalam tiga kali pemilu bebas (1955, 1999, 2004), partai yang menang adalah yang berbasis kebangsaan. Apalagi dua Ormas Islam besar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, sejak awal telah menyatakan Pancasila sebagai dasar negara, ujarnya.
Mayoritas responden, lanjutnya, sebanyak 61,4% menyatakan kekhawatirannya bahwa Perda yang bernuansa syariat agama dapat mendorong perpecahan. Dan terdapat 59,7% responden yang beragama Islam juga menyatakan kekhawatiran yang sama.
Hasil survei memperkuat dugaan bahwa mayoritas muslim Indonesia memang moderat, berbeda dengan mayoritas muslim di Timur Tengah. Negara ini selalu dipimpin oleh presiden yang memiliki komitmen yang kuat dengan keberagaman, yang disimbolkan oleh Pancasila,"tambahnya.
Mayoritas muslim Indonesia lebih memilih bersikap moderat, lanjutnya, lebih disebabkan oleh penetrasi panjang dan masif atas asas tunggal Pancasila di masa orde baru. Selain itu, pemihakan oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama berpihak pada Pancasila. Tokoh intelektual Islam seperti Abdurrachman Wahid dan Nurcholis Madjid yang moderat juga mendukungnya.
Responden lebih memilih penegakkan hukum yang ada ketimbang membuat Perda berdasarkan syariat Islam. Aturan hukum yang diatur oleh KUHP juga sudah mengatur soal anti kemaksiatan. 61,4% responden justru sangat khawatir jika Perda bernuansa syariat diberlakukan," ujarnya. (Bob)

KY Pertimbangkan Berhenti Terima Pengaduan Masyarakat

Jakarta—INVESTIGASINEWS Online (INO)--Sebagai reaksi atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghilangkan semua kewenangan Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi perilaku hakim, maka KY mempertimbangkan untuk berhenti menerima laporan pengaduan dari masyarakat, kata Wakil Ketua KY, Thahir Saimima."Besok kami rapat. Kami mempertimbangkan akan tidak menerima laporan pengaduan dari masyarakat untuk sementara waktu sampai UU KY hasil revisi resmi dinyatakan sah dan berlaku," ujarnya di Gedung KY, Jakarta, Kamis.Ia mengemukakan, kemungkinan KY akan membuat iklan yang disiarkan di media massa sebagai pemberitahun kepada masyarakat bahwa KY untuk sementara waktu tidak menerima laporan pengaduan dari masyarakat mengenai perilaku hakim."KY memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat atas kejadian ini, karena KY memiliki tangan yang pendek, tidak bisa berbuat apa-apa, ini sistem yang kita miliki saat ini," katanya.Ia menjelaskan, sampai 24 Agustus 2006 lembaga itu telah menerima 833 pengaduan dari masyarakat mengenai dugaan penyimpangan perilaku oleh hakim, dan sebanyak 286 laporan telah diproses oleh KY.Sebanyak tujuh pengaduan sudah direkomendasikan kepada Mahkamah Agung (MA), empat dicabut oleh pelapor, 59 akan diajukan ke sidang pleno KY, 111 sudah selesai dibahas dalam sidang pleno KY, dan 11 lagi masih menunggu kelengkapan berkas dari pelapor, katanya.Thahir mengatakan, lebih dari 500 laporan yang belum ditangani oleh KY akan tetap diperiksa, namun lantaran kewenangan KY untuk mengawasi hakim telah dinyatakan tidak mengikat oleh MK, maka KY tidak lagi dapat memanggil dan memeriksa hakim yang dilaporkan oleh masyarakat."Jadi, kami hanya memeriksa berkas saja dan juga orang-orang yang terkait. Tetapi, kalau memanggil dan memeriksa hakim kita tidak bisa, karena sudah dilarang oleh MK," ujarnya.Jika dari hasil pemeriksaan ditemukan dugaan penyimpangan perilaku, lanjut Thahir, maka KY tidak lagi membuat rekomendasi kepada MA, dan KY akan melaporkan dugaan penyimpangan perilaku hakim kepada MA dalam bentuk surat pemberitahuan, dan juga kepada DPR dan Presiden dalam bentuk laporan.Sementara itu, Zainal Arifin, anggota KY yang mendampingi Thahir, mengatakan bahwa lembaganya masih ragu untuk menghentikan penerimaan laporan pengaduan dari masyarakat, karena MK menghapus kewenangan KY untuk mengawasi hakim, tetapi tidak menghilangkan kewenangan KY untuk menerima laporan dari masyarakat."Karena itulah KY masih ragu. Tetapi, itu akan diputuskan dalam rapat besok," ujarnya.Thahir mengatakan, putusan MK itu memang mengecewakan, tidak hanya bagi KY, tetapi juga bagi masyarakat yang menginginkan pemberantasan mafia peradilan.Meski demikian, Thahir mengatakan, KY tetap akan menghormati dan mematuhi putusan MK.Namun, ia mempertanyakan, sikap MK yang memutus di luar hal yang dimohonkan oleh 31 hakim agung dalam perkara uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY, dan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman."Yang dimohonkan hanya meminta hakim agung dan hakim konstitusi untuk dikeluarkan dari obyek pengawasan KY. Tetapi, mengapa semua ketentuan yang mengatur fungsi pengawasan KY yang dibatalkan? MK telah membuat keputusan di luar hal yang dimohonkan," ujar Thahir.Ia juga mencurigai bahwa uji materiil UU yang diajukan oleh 31 hakim agung kemungkinan hanyalah rekayasa dari permohonan sengketa antar-lembaga negara, karena pada pasal 65 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK ditegaskan bahwa MA tidak dapat menjadi pihak dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara."Kalau kita lihat putusan MK, seluruhnya menyangkut segketa kewenangan antar-lembaga negara yang dibungkus oleh uji materiil UU terhadap UUD. Kalau UU MK tidak megatur bahwa MA tidak boleh menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara, maka mereka pasti megajukan sengketa kewenangan antara KY dan MA," kata Thahir.Apalagi, ia menambahkan, sudah bukan rahasia lagi bahwa sebelum 31 hakim agung mengajukan uji materiil ke MK, terjadi sengketa kewenangan soal pengawasan hakim antara KY dan MA. (Antara/Naga)

Menteri Kelautan dan Perikanan (Freddy Numberi) Diperiksa KPK

JAKARTA—INVESTIGASINEWS Online (INO)-- Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal pengumpulan dan penggunaan dana non-budgeter kementerian yang dipimpinnya. Freddy yang didampingi dua ajudannya tiba di Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta, Kamis (24/8) sekitar pukul 10.00 WIB. Ia tidak masuk melalui pintu depan Gedung KPK, tetapi melalui pintu Gedung Sekretariat Negara yang terletak dalam satu bangunan dengan Gedung KPK. Ia langsung naik ke ruang pemeriksaan di lantai tiga melalui lift di lobi depan Gedung Sekretariat Negara. Pemeriksaan terhadap freddy Numberi merupakan tindak lanjut pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK terhadap Rokhmin Dahuri.
Sebelumnya, pada 2 Agustus 2006 KPK telah memeriksa mantan Menteri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) periode 2002 2004, Rokhmin Dahuri. Saat itu Rokhmin mengatakan, KPK meminta klarifikasi darinya tentang pengumpulan dana kontribusi non-budgeter pada biro keuangan DKP. Ia mengaku memang ada pengumpulan dana non-budgeter di DKP yang dilakukan sejak 2002. Bahkan, ia mengatakan praktik itu terjadi sampai sekarang. Pemanggilan atas diri saya oleh KPK saat itu untuk diminta keterangan soal dana non-budgeter dari 2002 hingga 2006. Jadi, pengumpulan itu seharusnya masih ada sampai sekarang," ujarnya. Rokhmin mengatakan ia tidak tahu persis sumber dana non-budgeter itu berikut nilai yang bisa dikumpulkan setiap tahunnya. Namun, ia memastikan dana non-budgeter itu bukan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kalau menurut laporan anak buah saya, itu berasal dari sumbangan sukarela. Tetapi asalnya dari mana saya tidak tahu, tanya saja kepada Sekretaris Jenderal atau Kepala Biro Keuangan, mereka lebih tahu," katanya saat itu. Rokhmin dalam pemeriksaan sebelumnya menerangkan penggunaan dana non-budgeter itu di antaranya untuk biaya penyusunan undang-undang, untuk sumbangan nelayan yang terkena bencana alam serta sumbangan pembangunan masjid, gereja, pesantren dan sebagainya.
Rokhmin menyatakan pemeriksaan oleh KPK tidak terkait dengan kasus dugaan korupsi pengadaan alat-alat laboratorium di DKP dengan kerugian negara sekitar Rp3 miliar. Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat alat laboratorium di DKP, KPK telah menetapkan tiga tersangka, yaitu dua pegawai
DKP dan satu rekanan. Mereka ditahan sejak Mei 2006.
Kerugian negara sejumlah Rp3 miliar ditimbulkan akibat penggelembungan harga dari 51 barang laboratorium yang tercantum dalam proyek dan karena ada perbedaan spesifikasi teknis dan jumlah barang antara yang tercantum dalam kontrak dan yang diberikan oeh rekanan. KPK juga menemukan adanya pemberian uang dari rekanan kepada pejabat badan riset DKP yang berperan sebagai pimpinan proyek pelelangan sebesar lima persen dari nilai proyek atau sejumlah Rp450 juta. Dugaan tindak pidana korupsi dalam pengumpulan dan penggunaan dana kontribusi non-budgeter pada biro Keuangan DKP itu telah diselidiki KPK sejak Juni 2006.
(Sam)

Menteri Kelautan dan Perikanan (Freddy Numberi) Diperiksa KPK

JAKARTA—INVESTIGASINEWS Online (INO)-- Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal pengumpulan dan penggunaan dana non-budgeter kementerian yang dipimpinnya. Freddy yang didampingi dua ajudannya tiba di Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta, Kamis (24/8) sekitar pukul 10.00 WIB. Ia tidak masuk melalui pintu depan Gedung KPK, tetapi melalui pintu Gedung Sekretariat Negara yang terletak dalam satu bangunan dengan Gedung KPK. Ia langsung naik ke ruang pemeriksaan di lantai tiga melalui lift di lobi depan Gedung Sekretariat Negara. Pemeriksaan terhadap freddy Numberi merupakan tindak lanjut pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK terhadap Rokhmin Dahuri.

Sebelumnya, pada 2 Agustus 2006 KPK telah memeriksa mantan Menteri Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) periode 2002 2004, Rokhmin Dahuri. Saat itu Rokhmin mengatakan, KPK meminta klarifikasi darinya tentang pengumpulan dana kontribusi non-budgeter pada biro keuangan DKP. Ia mengaku memang ada pengumpulan dana non-budgeter di DKP yang dilakukan sejak 2002. Bahkan, ia mengatakan praktik itu terjadi sampai sekarang. Pemanggilan atas diri saya oleh KPK saat itu untuk diminta keterangan soal dana non-budgeter dari 2002 hingga 2006. Jadi, pengumpulan itu seharusnya masih ada sampai sekarang," ujarnya. Rokhmin mengatakan ia tidak tahu persis sumber dana non-budgeter itu berikut nilai yang bisa dikumpulkan setiap tahunnya. Namun, ia memastikan dana non-budgeter itu bukan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kalau menurut laporan anak buah saya, itu berasal dari sumbangan sukarela. Tetapi asalnya dari mana saya tidak tahu, tanya saja kepada Sekretaris Jenderal atau Kepala Biro Keuangan, mereka lebih tahu," katanya saat itu. Rokhmin dalam pemeriksaan sebelumnya menerangkan penggunaan dana non-budgeter itu di antaranya untuk biaya penyusunan undang-undang, untuk sumbangan nelayan yang terkena bencana alam serta sumbangan pembangunan masjid, gereja, pesantren dan sebagainya.

Rokhmin menyatakan pemeriksaan oleh KPK tidak terkait dengan kasus dugaan korupsi pengadaan alat-alat laboratorium di DKP dengan kerugian negara sekitar Rp3 miliar. Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat alat laboratorium di DKP, KPK telah menetapkan tiga tersangka, yaitu dua pegawai DKP dan satu rekanan. Mereka ditahan sejak Mei 2006.

Kerugian negara sejumlah Rp3 miliar ditimbulkan akibat penggelembungan harga dari 51 barang laboratorium yang tercantum dalam proyek dan karena ada perbedaan spesifikasi teknis dan jumlah barang antara yang tercantum dalam kontrak dan yang diberikan oeh rekanan. KPK juga menemukan adanya pemberian uang dari rekanan kepada pejabat badan riset DKP yang berperan sebagai pimpinan proyek pelelangan sebesar lima persen dari nilai proyek atau sejumlah Rp450 juta. Dugaan tindak pidana korupsi dalam pengumpulan dan penggunaan dana kontribusi non-budgeter pada biro Keuangan DKP itu telah diselidiki KPK sejak Juni 2006. (Sam)

DPRD KOTA BOGOR MENGHIANATI AMANAH RAKYAT, MAHASISWA MARAH

BOGOR – INVESTIGASINEWS Online (INO)— Benar-benar luar biasa!! Anggota DPRD Kota Bogor yang seharusnya bisa memahami dan menjaga amanah rakyat, ternyata secara telanjang telah menghianatinya. Hal ini terlihat dalam Sidang Paripurna yang digelar hingga Rabu malam (23/8) kemarin. Laporan Pertanggungjawaban APBD Kota Bogor TA 2005 akhirnya resmi disahkan dalam sidang paripurna, 5 fraksi di DPRD Kota Bogor yakni Fraksi Golkar, PDIP, PAN, PPP dan Demokrat menyatakan menerima laporan pertanggungjawaban APBD Thn. 2005 yang telah dijalankan Walikota Bogor H. Diani Budiarto beserta jajarannya selama tahun 2005 lalu. Sedangkan 1 fraksi lainnya yakni FKS menolak LP APBD TA 2005 khusus pada 1 item saja terkait dengan temuan BPK yang belum diselesaikan Pemerintah Kota Bogor.
Dari 6 fraksi DPRD Kota Bogor itu, 5 fraksi yang terdiri dari Fraksi Golkar, Fraksi PDIP, Fraksi PAN, Fraksi PPP dan Fraksi Demokrat memilih menggabungkan pemandangan akhir fraksinya masing-masing menjadi satu. Sementara Fraksi Keadilan Sejahtera (FKS) memilih menyampaikan sikap fraksinya secara sendiri.5 Fraksi gabungan melalui juru bicaranya Eman Sulaeman menyatakan, adanya temuan 11 BPK merupakan catatan buruk Walikota Bogor dalam menjalankan kinerjanya. Oleh karena itu, menurut Eman, 11 temuan BPK yang telah diperbaiki diantara sepuluh item dan sisanya satu lagi agar segera diperbaiki oleh Pemkot Bogor dalam waktu secepatnya. Fraksi gabungan sepakat untuk menerima Laporan Pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Bogor Tahun Anggaran2005,"tegasEman.
Sementara itu, Fraksi Keadilan Sejahtera (FKS) melalui juru bicaranya Abuzar Usman menegaskan, bahwa FKS menolak Pertanggungjawaban APBD TA. 2005 khusus pada Pos Belanja Penunjang Kegiatan Sekretariat Daerah sebesar 6,7 milyar yang sampai saat ini belum diselesaikan. Oleh karena itu, kata Abuzar, Fraksi Keadilan Sejahtera meminta kepada Pimpinan DPRD agar menuntut BPK untuk segera melakukan pemeriksaan lanjutan. Ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 Pasal 21 ayat 3, tegas Abuzar Sementara untuk pertanggungjawaban APBD khusus pada pos-pos lainnya. Lanjut Abuzar, FKS menerima dengan catatan, bahwa Pemkot Bogor harus segera mengembalikan kelebihan pemotongan pajak atas pembelian tanah. Kemudian, perlu segera melakukan kebijakan taktis dan strategis dalam perbaikan pengelolaan keuangan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. "Selain itu, kami minta agar Walikota Bogor berkomitmen untuk tidak lagi mengulangi kesalahan-kesalahan serupa dalam hal pengelolaan keuangan daerah serta mentaati seluruh peraturan perundang-undangan berlaku," terang Abuzar.Menanggapi banyaknya permasalahan yang harus diperbaiki oleh Pemkot Bogor, Tubagus Tatang Muchtar selaku Ketua DPRD Kota Bogor, memberi batas waktu kepada Pemerintah Kota Bogor untuk memperbaiki kinerjanya itu hingga akhir tahun 2006.

MAHASISWA MARAH, DEMO RICUH
Sementara itu, sore harinya dalam aksi demonstrasi mahasiswa terlihat luapan kemarahan ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Se-Bogor tidak dapat dibendung lagi dan benar-benar ditumpahkan. Aksi yang digelar guna menuntut pembatalan sidang paripurna LP APBD TA 2005 oleh DPRD Kota Bogor diwarnai kekisruhan. Kemarahan BEM Se-Bogor itu ditumpahkan dengan cara menyegel gedung DPRD Kota Bogor, mencaci maki para anggota DPRD hingga bakar-bakaran ban bekas. Tak hanya itu saja, mereka juga melawan para aparat keamanan dari Satpol PP dan Kepolisian yang memang sengaja mengawal aksi tersebut semenjak awal aksi digelar. Tak urung dorong-doronganpun terjadi antara aparat keamanan dengan para mahasiswa yang berujung bentrokan fisik. Bahkan, mahasiswa yang sudah tidak sabar dan merasa dikhianati sebab tuntutan mereka agar DPRD tidak memparipurnakan LP APBD TA 2005 menjadi tidak didengarkan. Buntutnya, aksi saling dorongpun menjadi tak terhindarkan. Akibatnya, fasilitas Gedung DPRD berupa beberapa lampu internit dipecahkan mahasiswa. BEM Se-Bogor menuntut, pembatalan Sidang Paripurna DPRD Kota Bogor guna mengesahkan LP APBD TA 2005 sebelum 11 temuan hasil audit BPK dituntaskan. Kemudian, menuntut DPRD Kota Bogor untuk melakukan audit investigasi kelapangan guna menindaklanjuti 11 temuan BPK. Serta, BEM Se-Bogor merasa tidak puas dengan saran BPK dan jawaban dari Pemkot Bogor terhadap 11 temuan BPK.
Sebelumnya, dalam aksi mahasiswa guna menolak LP APBD diparipurnakan yang digelar pagi harinya juga sempat diwarnai kisruh. Aksi dilakukan oleh elemen mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Bogor menggugat (AMBM). Kelompok mahasiswa kali ini adalah beberapa organ pergerakan seperti, IPNU Bogor, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, KAMMI Bogor, LMND Bogor, PMII UIKA, GMNI, HMI MPO dan FAM IPB. Kekisruhan berawal ketika para mahasiswa ingin mencoba masuk gedung DPRD Kota Bogor. Namun, kemudian hal itu tidak diperkenankan oleh aparat keamanan dari Satpol PP Kota Bogor. Akhirnya, aksi saling dorongpun terjadi. Bahkan, beberapa mahasiswa dalam aksi tersebut sempat adu jotos dengan aparat satpol PP. Tuntutan elemen Aliansi Mahasiswa Bogor Menggugat dalam aksi itu diantaranya adalah, tangkap, adili dan sita harta koruptor untuk rakyat bogor. Selain mosi tidak percaya disampaikan kepada anggota DPRD Kota Bogor, mahasiswa juga mendesak Kapolwil Bogor dan Kajari Bogor untuk segera mengusut tuntas penyalahgunaan uang rakyat. (TIM)

Saturday, August 19, 2006

PRESIDEN SBY TELAH LAKUKAN KEBOHONGAN PUBLIK, DATA KEMISKINAN DAN PENGANGGURAN DIRAGUKAN

Jakarta, --INVESTIGASINEWS Online (INO)-- Dalam Pidato Kenegaraan dihadapan anggota DPR RI, Kamis (16/08) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan angka kemiskinan turun dari 23,4 persen pada tahun 1999 menjadi 16 persen pada tahun 2005. Presiden SBY juga menyatakan angka pengangguran turun dari 11,2 persen pada November 2005 menjadi 10,4 persen pada Februari 2006.

Tentu saja Pidato Kenegaraan Presiden SBY ini mengundang kontroversi dan kritikan keras dari berbagai kalangan masyarakat. Pernyataan pengenai penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran ini dinilai telah menyesatkan, karena tidak sesuai kondisi riil. Kebijakan yang akan diambil pemerintah dikhawatirkan kurang tepat karena didasarkan pada data yang kurang akurat.

Kritikan dan kecaman keras ini disampaikan dalam Konferensi Pers di Jakarta, Jumat (18/08) oleh sejumlah ekonom dan pengamat yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit, antara lain Drajat Wibowo, Imam Sugema, Hendri Saparini, Ichsanuddin Noorsy, dan Aviliani. Tim Indonesia Bangkit menilai pernyataan penurunan angka itu tidak menggambarkan kondisi riil saat ini, karena data didasarkan dari hasil Survei Sosial Ekonomi nasional (Susenas) Februari 2005 yang memotret kondisi sebelum pemerintah menaikkan harga Bahan bakar Minyak (BBM) pada Oktober 2005. Padahal Badan Pusat Statistik (BPS) telah memutakhirkan data kemiskinan melalui Susenas Juli 2005, dan Maret 2006. Akan tetapi data yang terbaru ini justru tidak dilaporkan. Tentu hal ini makin menimbulkan pertanyaan dan keraguan, demikian tegas Hendri Saparini.

Sementara itu, menurut Alvin Lie, anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) sebagaimana dikutip dari detik.com menyatakan penggunaan data lama oleh Presiden SBY dalam Pidato Kenegaraan di hadapan anggota DPR dinilai sebagai kebohongan terhadap DPR dan upaya penghianatan kepada negara. Alvin Lie juga menegaskan hal ini bisa disebut sebagai Contempt of Parliament, Dia juga menilai penggunaan data lama tersebut adalah upaya menyesatkan untuk mempengaruhi RAPBN 2007. Tentu hal ini merupakan penyesatan terhadap seluruh rakyat Indonesia. Ini perbuatan tercela, karenanya Presiden SBY dapat diberhentikan dari jabatannya. Saya sarankan lihat UUD 1945 Pasal 7 a yang mengatur pemberhentian presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya, demikian tegasnya. (TIM)

Saturday, August 05, 2006

KONTRA DESAK KEJARI BOGOR SIDIK HASIL AUDIT BPK ATAS LAPORAN APBD KOTA BOGOR TA. 2005 YANG BERPOTENSI MENIMBULKAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA


Bogor, ---INVESTIGASINEWS Online (INO)--Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam KONTRA (Koalisi Untuk Transparansi Anggaran) mendatangi Kejaksaan Negeri Bogor Kamis (3/08). Kedatangan para LSM tersebut yang terdiri dari LSM Transparansi (Institut Investigasi dan Advokasi Hukum), Forum Pemerhati Jasa Kontruksi (FPJK), DPC Pemuda Demokrat serta Forsosnas guna mendesak institusi kejaksaan untuk segera melakukan pemeriksaan hingga tuntas terhadap dugaan penyimpangan keuangan yang terdapat dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada APBD TA 2005.

Kepada Kasi Intel Kejari Bogor, Bambang Tutuko, MH. Sinaga selaku Koordinator TRANSPARANSI menjelaskan bahwa berdasarkan hasil audit BPK atas laporan keuangan Kota Bogor TA. 2005 telah terdapat 11 item yang kurang diyakini kebenarannya dan melanggar ketentuan yang berlaku. Ditegaskan pula, bahwa penyimpangan tersebut telah berpotensi merugikan keuangan negara sekitar kurang lebih RP 12 milyar.

Menurut Bambang, bahwa Kejari Bogor saat ini juga sedang mengumpulkan fakta-fakta dan bukti-bukti guna menindaklanjuti kasus tersebut. Ditegaskan pula bahwa dalam penanganan kasus ini pihak Kejaksaan sangat berhati-hati sekali. Namun ketika didesak, apakah Kejaksaan Negeri Bogor akan serius untuk menindak lanjuti kasus ini, Bambang menjawabnya tergantung kepada pimpinannya. Karena menganggap jawaban Bambang kurang tegas, Eko dari DPC Demokrat, mempertanyakan apakah hal ini karena adanya Nota Kesepahaman (MOU) antara Pihak Kejaksaan Negeri Bogor dengan Walikota Bogor tentang Jasa Bantuan Hukum yang akan diberikan oleh Kejaksaan kepada Pemerintah Daerah Kota Bogor. Bambang berkilah, bahwa hal ini tidak ada hubungannya. Ditegaskan pula, bahwa kejaksaan tetap independen jika terjadi kasus yang merugikan keuangan negara, siapapun pelakunya termasuk aparat Pemerintah Daerah Kota Bogor.
Program CCTV Pemkot Diduga Fiktif
Kecaman terhadap kinerja Pemerintah Kota Bogor terus dilontarkan oleh berbagai pihak. Beberapa kalangan masyarakat terus memberikan kritik terhadap LKPj dan LP APBD Walikota Bogor. Salah satunya datang dari FORSOSNAS. Ricard, selaku Kordinator FORSOSNAS menyatakan berdasarkan hasil temuannya dilapangan ternyata sistem CCTV sebagaimana telah dianggarkan sebesar 230.000.000,- (realisasi Rp. 227.740.000,-), diduga merupakan “Proyek Fiktif”, karena pada kenyataannya belum terlaksana di lingkungan Pemkot Bogor.Dengan melihat kenyataan itu, maka FORSOSNAS mendesak kepada DPRD Kota Bogor agar berperan aktif mendorong penegakan hukum atas penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi dalam penggunaan APBD Kota Bogor tahun anggaran 2005.(Eko)

Prospek Implementasi UU Perlindungan Saksi dan Korban Diragukan

Jakarta, --INVESTIGASINEWS Online (INO)--Meski telah disahkan 18 Juli 2006 lalu, UU Perlindungan saksi ternyata masih meninggalkan berbagai pekerjaan tambahan.

Dalam diskusi publik yang digelar oleh ELSAM dan Koalisi Perlindungan Saksi, Kamis (03/8), Teten Masduki dari Indonesian Corruption Watch menyatakan bahwa UU Perlindungan Saksi dan Korban tidak efektif membujuk pelaku kecil dan juga saksi pelapor untuk berperan aktif dalam membongkar suatu kejahatan. UU ini dinilaii memiliki sejumlah kekurangan, yakni sempitnya definisi saksi, efektifitas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan juga ketidak harmonisannya dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait.

Definisi saksi dalam UU PSK masih dibebani oleh konsep KUHAP sehingga menutup kemungkinan perlindungan terhadap whistleblower (pelapor). Pasal 10 ayat (1) UU PSK memang menyebutkan adanya perlindungan bagi saksi, korban maupun pelapor dalam bentuk tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata, Namun perlindungan bagi pelapor hanya sebatas itu saja. Tidak sebanyak dan selengkap perlindungan yang diberikan bagi seorang saksi seperti yang dicantumkan dalam pasal 5 ayat (1) UU PSK.

Bila dibandingkan dengan pasal 15 huruf a UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka akan terlihat perbedaan. Dalam pasall tersebut KPK berkewajiban untuk memberikan perlindungan yang setara kepada saksi maupun pelapor. Pengaturan dalam UU No.30 tahun 2002 ini sejalan dengan apa yang diamanatkan oleh pasal 33 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No.7 tahun 2006. Pengaturan yang demikian tentunya tidak akan mendorong orang untuk melaporkan tindak pidana yang diketahuinya. “Padahal, belajar dari pengalaman, peran Whistleblower sangat besar dalam membantu pemerintah membongkar banyak kasus. Kasus BNI salah satunya,” ucap Teten.

Problem dalam masalah implementasi hak-hak saksi dan korban juga muncul ketika salah satu hak daripada saksi dan korban adalah untuk mendapatkan identitas baru. Konsekuensinya berarti pemberian KTP dan Kartu Keluarga baru bagi saksi, termasuk juga bagi keluarganya. Selain peran Departemen Dalam Negeri, Ketua RW dan pejabat kelurahan juga dilibatkan dalam pembuatan identitas baru ini. Semakin banyak institusi terlibat tentu semakin besar resiko terbongkarnya identitas saksi/korban yang dilindungi, apalagi bila koordinasi antar institusi tersebut lemah.

Lain lagi dalam kasus pelanggaran HAM berat. Menurut Ifdhal Kasim, Direktur Hukum Reform Institute, status korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat memiliki perbedaan yakni korban pasti berstatus saksi. “Lagi-lagi, hal ini tidak diatur oleh UU PSK,” keluhnya.

Dalam pasal 7 UU PSK disebutkan bahwa untuk mendapatkan hak mereka atas kompensasi maupun restitusi dalam kasus pelanggaran HAM berat, korban harus mengajukan permohonan melalui LPSK, baru kemudian LPSK yang mengajukan ke pengadilan. Prosedur yang demikian, dikatakan Ifdhal, bertentangan dengan pasal 35 ayat (2) UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang mengatakan bahwa masalah restitusi dan kompensasi dicantumkan oleh Hakim dalam amar putusannya. “Dengan adanya UU PSK maka korban tidak bisa mengajukan langsung melainkan harus ke LPSK. Berarti makan waktu lagi. Korban tidak bisa menuntut secara inheren dalam putusan,” tambah Ifdhal.

Plea Bargain dan Plea Agreement
Teten Masduki menambahkan bahwa seharusnya, prinsip perlindungan saksi adalah mencakup reward bagi siapapun yang melaporkan/membantu membongkar tindak pidana. “Kelemahan yang lain daripada UU ini adalah tidak mencantumkan mengenai
plea agreement. Menurut saya ini paling fatal karena UU perlindungan saksi dimanapun prinsipnya adalah untuk mendorong peran aktif si saksi. Memang ada masalah kekebalan dari gugatan pidana dan perdata. tapi itu kan gugatan balik. Pelaku kecil sama sekali tidak diberi kesempatan mendapat keringanan hukuman dalam bentuk plea agreement. Juga tidak dikenal prinsip plea bargain di muka pengadilan. Perihal keringanan adalah merupakan diskresi hakim,” jelasnya.

Dengan tidak adanya kesempatan untuk menegosiasikan keringanan hukuman, pelaku minor tentu tidak akan mau melaporkan/membantu membongkar tindak pidana. Siapa pelaku utama atau Big Fishnya tidak akan pernah bisa diungkap. Menurut Teten, hal ini mungkin bisa disiasati KPK dengan cara membuat kontrak rahasia/diam-diam dengan saksi pelapor dengan tidak mengekspos identitas saksi pelapor. Yang paling penting tentunya adalah perlunya menyamakan pandangan antara KPK, jaksa dan hakim.

Pembatasan terhadap saksi yang dilindungi juga merupakan suatu kemunduran. Di dalam UU PSK, perjanjian perlindungan saksi dan korban oleh LPSK hanya diberikan terhadap saksi/korban dalam tindak pidana terorisme, pelanggaran HAM berat, korupsi, pencucian uang, penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dan perdagangan manusia. PANJA Komisi III DPR berargumen bahwa munculnya pasal ini dikarenakan ingin mengurangi beban pembiayaan pemerintah dan juga meminimalisir beban LPSK.

Dari perspektif kejahatan berbasis gender, UU ini tidak mengatur perihal pemulihan di masyarakat atas stigmatisasi yang seringkali timbul terhadap korban. “Memang ada perlindungan, tapi pemulihan dari stigmatisasi masyarakat yang sebenarnya sangat penting bagi korban kejahatan berbasis gender justru tidak ada.” Jelas Nova dari Komnas Perempuan.

Pendirian LPSK yang tenggat waktu maksimalnya adalah 1 tahun setelah UU disahkan, diragukan pula oleh Ifdhal Kasim. “Kita sudah lihat berapa banyak lembaga yang pendiriannya mandeg dan tidak jelas pertanggungjawabannya,” Ifdhal berpendapat.

Pembahasan Tertutup
Hasil akhir UU yang mengundang begitu banyak protes, memancing pertanyaan masyarakat. Apabila memang banyak yang kurang, mengapa tidak diprotes semenjak masih dalam tahap pembahasan?

Tertutupnya pembahasan mengenai UU ini adalah salah satu penyebab baik KPK maupun koalisi perlindungan saksi tidak bisa banyak memantau secara detail masalah pembahasan. Pembahasan di DPR langsung ke PANJA Komisi III DPR tanpa melalui rapat kerja dengan pemerintah. Rapat Dengar Pendapat Umum pun hanya dilaksanakan di awal dan akhir dengan materi hanya tentang sanksi.

Teten Masduki menambahkan bahwa seharusnya, UU yang bertentangan dengan UNCAC sesuai ketentuan United Nations, harus direvisi. “Karena menurut ketentuan UN, Negara yang sudah meratifikasi UNCAC tidak boleh membuat UU yang bertentangan dengan konvensi tersebut. Ini memperlihatkan bahwa DPR tidak mempelajari UNCAC dan peraturan-peratutan lain yang terkait saat membahas UU PSK,” tegasnya.(Hukumonline/Naga)