Friday, June 09, 2006

Otonomi Daerah dan Demokratisasi

Dalam era otonomi daerah, kemandirian provinsi, kota, dan kabupaten dalam menyelenggarakan pemerintahan, seperti penetapan APBD, diharap dapat berjalan baik Namun, saat ini ada beberapa kasus di mana APBD provinsi telah dikoreksi pemerintah pusat (Depdagri). APBD 2006 Jakarta senilai Rp 17,9 triliun diminta Depdagri untuk direvisi pada empat pos yang mencakup Rp 2,1 triliun. Begitu pula APBD 2006 di Banten diprotes mahasiswa karena dana untuk makan pegawai Rp 35 miliar, sementara anggaran pendidikan Rp 70 miliar.
LEMAHNYA KOREKSI LOKAL
Hal ini merupakan gejala bernegara dan bermasyarakat yang penting dan mendasar, bukan hanya masalah teknis anggaran. Kasus yang ada menunjukkan bagaimana mekanisme saling koreksi kekuasaan secara horizontal (checks and balances) antara eksekutif dan legislatif provinsi kurang berfungsi. Sementara itu, koreksi vertikal dari bawah oleh masyarakat masih lemah sehingga terjadi koreksi dari atas (pusat). Otoritas untuk melakukan koreksi dari atas dituangkan dalam UU No 32/2004 (Pemda) di mana Mendagri dapat membatalkan Perda dan Pergub jika tidak sesuai kepentingan umum dan peraturan perundangan yang lebih tinggi (Pasal 185 Ayat 5). Hal ini dapat dianggap resentralisasi karena pada UU No 22/1999 anggaran yang telah ditetapkan dengan Perda hanya perlu diketahui pihak atas (Pasal 86 Ayat 5). Informasi tentang APBD tidak dapat diakses publik dan mereka baru sadar setelah terjadi beberapa kejanggalan. Website Pemda DKI Jakarta (www.jakarta.go.id) tidak menyediakan informasi APBD 2006. Demikian pula website Banten (www.banten.go.id) tidak menyediakan APBD 2006 meski ada APBD 2005 (sebagai arsip) yang bersifat umum dengan pendapatan agak jelas tanpa rincian anggaran belanja. Tanpa koreksi dari publik, yang terjadi adalah koreksi pascapenyimpangan melalui lembaga peradilan di mana pada periode 2004-2006 sebanyak 1,129 pejabat daerah diperiksa karena korupsi (Kompas, 24/3/2006). Perbaikan menuju demokrasi partisipatoris pascapemilu sebagai kelanjutan demokrasi pemilu (electoral democracy) membutuhkan masyarakat yang aktif sekaligus pemerintahan daerah yang transparan. Peningkatan transparansi ini dapat dilakukan dengan menyediakan informasi terkait APBD (hak bujet bagi rakyat/konstituensi) dan forum dengan warga. Upaya ini dapat dimulai dengan mencantumkan APBD secara rinci dan waktu cukup di website pemda dan menyampaikannya dalam bentuk brosur kepada pers, universitas, ormas, LSM dan RW-RT. Perlunya transparansi bagi pemda harus dipaksakan dalam perundang-undangan berikut sanksi tegas. Dalam UU No 28 Tahun 1999 (Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN dan UU No 22/2003/Susduk), DPRD tidak wajib transparan dalam hal APBD termasuk akuntabilitas pelaksanaan.
ANJING PENJAGA
Selain itu, untuk mendukung masyarakat menjadi lebih aktif dan berdaya, perlu disediakan dana anjing penjaga independen guna mengkritisi APBD dan kinerja pemda. Dana ini hendaknya dilihat sebagai investasi, bukan cost dan merupakan dana OM atau operation and maintenance guna membangun dan memelihara infrastruktur demokrasi. Dalam APBD 2006 DKI sebenarnya telah disediakan Rp 154 miliar bagi kelompok masyarakat (organisasi profesi) dan pola ini hendaknya diberlakukan untuk membantu anjing penjaga. Tanpa inovasi guna meningkatkan transparansi APBD, pemilu yang demokratis (jurdil) hanya menjadi ritual politik dan izin untuk segala penyimpangan pascapemilu. Ketidakpercayaan rakyat menghasilkan pergantian pejabat daerah tanpa perbaikan sistem (aturan dan anggaran). Otonomi daerah pun akan menjadi sekadar otonomi elite daerah, bukan otonomi masyarakat daerah, dan yang terjadi adalah demokrasi pada pemilu saja. Sebaliknya, jika masyarakat menjadi lebih aktif dan pemda lebih transparan dan responsif, koreksi dari atas menjadi tidak penting. Keadaan ini akan menunjukkan kematangan berotonomi dan terjadinya perluasan peserta demokrasi (mayoritas warga semakin aktif) dan masa demokrasi (bukan hanya saat pemilu saja). Selanjutnya, keadaan ini dapat menghasilkan kebijakan publik yang dapat memperbaiki taraf hidup masyarakat. (Iwan Gardono Sujatmiko, Sosiolog FISIP-UI, Depok – disadur dari KOMPAS edisi 3 April 2006)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home