Thursday, June 08, 2006

SKP3 PERKARA SOEHARTO CACAT HUKUM

Jakarta, -- INVESTIGASI NEWS Online -- Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menggelar sidang pra peradilan yang diajukan sejumlah LSM terkait diterbitkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan terhadap Kasus Dugaan Korupsi yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto (5/6). Persidangan ini dipimpin langsung oleh langsung Ketua PN Jaksel Andi Samsan Nganro.

Asosiasi Penasihat Hukum dan HAM Indonesia (APHI), sebagai pemohon dalam surat permohonannya menyatakan bahwa dasar hukum yang dijadikan landasan dalam mengajukan gugatan pra peradilan terhadap Negara RI cq. Pemerintah RI cq. Kejaksaan Agung cq. Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel), adalah Pasal 80 UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, APHI sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dimungkinkan untuk mengajukan permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan.

APHI menyebutkan, selain Pasal 80 UU No. 8/1981, pasal-pasal lain seperti Pasal 41 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 100 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, juga dijadikan dasar untuk menguatkan alasan hukum dalam mengajukan gugatan pra peradilan ini. APHI juga menyatakan, gugatan pra peradilan yang diajukan adalah melalui mekanisme gugatan organisasi masyarakat atau LSM sebagaimana telah dikenal dan dipraktekkan sebelumnya dalam upaya penegakan bidang hukum lainnya seperti hukum lingkungan, perlindungan konsumen, dan uji materiil.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, APHI bahkan berani mengklaim bahwa ini bukanlah kiprah pertama mereka mengajukan gugatan pra peradilan untuk kasus-kasus korupsi. Sebelumnya pada tahun 2002, APHI bersama-sama dengan Yayasan 324 mengajukan gugatan pra peradilan terhadap penghentian penyidikan kasus dugaan korupsi PLTU Paiton I yang juga melibatkan. Kiprah yang sama juga dilakoni APHI bersama-sama dengan Ikatan Keluarga Besar Laskar Ampera (IKBLA) dalam kasus penyalahgunaan dana Pajak Bumi Bangunan (PBB) di Samarinda.

Dengan alasan hukum atau dalil yang sama, para pemohon lainnya yang tergabung dalam Tim Advokasi Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (GEMAS). Sejumlah LSM yang tergabung dalam GEMAS diantaranya Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Pusat Studi HAM dan Demokrasi (DEMOS), dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Prematur dan Cacat hukum
Baik APHI maupun GEMAS, menilai SKP3 yang dikeluarkan oleh Kejari Jaksel bersifat prematur karena pihak Kejaksaan belum melakukan upaya optimal dalam menyembuhkan Soeharto sebagaimana diperintahkan oleh Mahkamah Agung. Sebagaimana diketahui, MA telah memerintahkan Kejaksaan melakukan upaya pengobatan terhadap Soeharto agar yang bersangkutan sembuh dan proses peradilan terhadap dirinya dapat diteruskan.

“Oleh karena itu, sudah merupakan keharusan bagi Kejaksaan Agung cq. Kejari Jaksel untuk melakukan pengobatan di luar negeri, khususnya di negara yang mempunyai metode, teknik, sarana, proses pengobatan yang lebih baik,” ujar Lambok Gultom, salah seorang kuasa hukum APHI.

APHI dan GEMAS juga menilai SKP3 yang dikeluarkan oleh Kejari Jaksel cacat hukum. Pasalnya, alasan yang dijadikan dasar terbitnya SKP3 tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a UU No. 8/1981. Dimana menurut pasal tersebut, SKP3 hanya dapat diberikan pada tiga kondisi yakni tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi hukum.

Sementara, SKP3 yang dikeluarkan Kejari Jaksel hanya didasarkan pada kondisi kesehatan Soeharto yang dianggap tidak layak disidangkan karena menderita kerusakan otak secara permanen. APHI dan GEMAS berpendapat pihak Kejaksaan seharusnya merujuk pada Pasal 38 ayat (1) UU No. 31/1999 yang memungkinkan suatu perkara korupsi diperiksa, diadili, dan diputus tanpa kehadiran terdakwa atau dikenal dengan in absentia.

In abstracto-in concreto
Sementara itu, salah seorang Jaksa dari Kejaksaan Negeri Jaksel, Marwan Effendy yang ditemui seusai persidangan, menyatakan menyambut baik langkah APHI dkk mengajukan pra peradilan. Menurut Marwan, memang sudah seharusnya melalui koridor pra peradilan apabila ada pihak yang merasa keberatan terhadap produk-produk hukum yang diterbitkan oleh Kejaksaan, baik itu SP3 (Surat Penghentian Penyedikan, red.) maupun SKP3. Dengan digelarnya sidang perkara pra-peradilan ini, maka produk-produk yang dikeluarkan oleh Kejagung akan diuji secara hukum dengan mekanisme yang ditetapkan oleh KUHAP,” ujar Marwan. Marwan juga menegaskan bahwa keberadaan SKP3 bukan bentuk pengampunan terhadap Soeharto, melainkan upaya menjadikan sesuatu yang tadinya abstrak (in abstracto) menjadi sesuatu yang konkret (in concreto).

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home